Sabtu, 13 Oktober 2018

IMAN, ISLAM, DAN IHSAN DALAM MEMBENTUK INSAN KAMIL



BAB II
PEMBAHASAN

2.1 IMAN, ISLAM, DAN IHSAN DALAM MEMBENTUK INSAN KAMIL
1.     Iman

Pengertian dasar dari istilah “iman” ialah “memberi ketenangan hati;  pembenaran hati”. Jadi makna iman secara umum mengandung pengertian pembenaran hati yang dapat menggerakkan anggota badan memenuhi segala konsekuensi dari apa yang dibenarkan oleh hati.
Iman sering juga dikenal dengan istilah aqidah, yang berarti ikatan, yaitu ikatan hati. Bahwa seseorang yang beriman mengikatkan hati dan perasaannya dengan sesuatu kepercayaan yang tidak lagi ditukarnya dengan kepercayaan lain. Aqidah tersebut akan menjadi pegangan dan pedoman hidup, mendarah daging dalam diri yang tidak dapat dipisahkan lagi dari diri seorang mukmin. Bahkan seorang mukmin sanggup berkorban segalanya, harta dan bahkan  jiwa demi mempertahankan aqidahnya.

Proses Terbentuknya Iman Dan Upaya Meningkatkannya
Iman terbentuk dalam diri manusia diawali dari fitrah tauhid(menyembah Allah) yang Allah tanamkan dalam diri manusia sejak dia masih dalam rahim ibu.
1.      Fitrah Illahi
Hati sangat berperan dalam mewujudkan iman dalam diri seseorang. Allah sesungguhnya telah memberikan potensi pada sertiap manusia untuk bertuhan dan mengabdi hanya kepada Allah, yang di sebut fitrah tauhid. Dijelaskan dalam QS.Al-A’raf:172
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ ۖ قَالُوا بَلَىٰ ۛ شَهِدْنَا ۛ أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَٰذَا غَافِلِين


Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)".
2.      Hidayah
Menurut Muhammad abduh, hidayah adalah petunjuk halus yang membawa atau menyampaikan kepada apa yang dituju atau diingini. Dijelaskan dalam QS.Al-Qashas:56
إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ ۚ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.
3.      Ikhtiar Insani

a.       Penciptaan Lingkungan Sosial Yang Kondusif

Hal ini menunjukkan bahwa lingkungan, dalam konteks ini pendidikan, memiliki kekuatan yang luar biasa dalam membentuk keyakinan dan pandangan hidup seseorang.

b.      Dzikir,Tafakkur, Dan Tadabbur
Dzikir adalah mengingat Allah SWT dan menhyebut nama-namanya setiap saat dalam segala posisi dan keadaan. Berezikir dapat dilakukan pula dengan merenung (Tadabbur) dan memikirakan (Tafakkur) ciptaan Allah,memikirkan proses kejadian alam dan segala peristiwa yang terjadi di dalamnya.
c.       Ingat Mati
Mati akan dirasakan oleh manusia setelah tiba saatnya. Saalh satu cara untuk mengingat mati dalah bertakziah kepada orang yang mati. Cara lain untuk mengingat mati adalah dengan ziarah kubur.
2.  Islam

Islam sebagai sebuah nama dari nama agama tidak diberikan oleh para pemeluknya melainkan kata “Islam” pada kenyataannya dicantumkan dalam Quran, yaitu:
1. “Wa radhitu lakum al-Islama dinan” artinya “Dan Allah mengakui bagimu Islam sebagai Agama”. 
2. “Inna’ ddina inda ilahi al Islam” artinya “Sesungguhnya agama disisi Allah adalah Islam”.

3. Ihsan

Ihsan berasal dari kata حَسُنَ yang artinya adalah berbuat baik, sedangkan bentuk masdarnya adalah اِحْسَانْ, yang artinya kebaikan.  Allah SWT berfirman dalam Al Qur`an mengenai hal ini.

إِنْ أَحْسَنتُمْ أَحْسَنتُمْ لِأَنفُسِكُمْ ۖ وَإِنْ أَسَأْتُمْ فَلَهَا ۚ فَإِذَا جَآءَ وَعْدُ ٱلْءَاخِرَةِ لِيَسُۥٓـُٔوا۟ وُجُوهَكُمْ وَلِيَدْخُلُوا۟ ٱلْمَسْجِدَ كَمَا دَخَلُوهُ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَلِيُتَبِّرُوا۟ مَا عَلَوْا۟ تَتْبِيرً

Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri, dan apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) yang kedua, (Kami datangkan orang-orang lain) untuk menyuramkan muka-muka kamu dan mereka masuk ke dalam mesjid, sebagaimana musuh-musuhmu memasukinya pada kali pertama dan untuk membinasakan sehabis-habisnya apa saja yang mereka kuasa. (al-Isra’: 7)
          
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ ۖ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا ۖ وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ ۖ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِي
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (al-Qashash:77)
Ihsan adalah puncak ibadah dan akhlak yang senantiasa menjadi target seluruh hamba Allah swt. Sebab, ihsan menjadikan kita sosok yang mendapatkan kemuliaan dari-Nya. Sebaliknya, seorang hamba yang tidak mampu mencapai target ini akan kehilangan kesempatan yang sangat mahal untuk menduduki posisi terhormat dimata Allah swt. Rasulullah saw. pun sangat menaruh perhatian akan hal ini, sehingga seluruh ajaran-ajarannya mengarah kepada satu hal, yaitu mencapai ibadah yang sempurna dan akhlak yang mulia.
2.2              HUBUNGAN IMAN, ISLAM DAN IHSAN

Iman, islam dah ihsan hubungannya sendiri sangat erat. Sebagaimana dalam hadits nabi SAW yang diriwayatkan oleh HR muslim. Hadis HR muslim mengetengahkan 4 (empat) masalah pokok yang saling berkaitan satu sama lain, yaitu iman, Islam, ihsan, dan hari kiamat. Pernyataan Nabi saw. di penghujung hadis di atas bahwa “itu adalah Malaikat Jibril datang mengajarkan agama kepada manusia” mengisyaratkan bahwa keempat masalah yang disampaikan oleh malaikat Jibril dalam hadis di atas terangkum dalam istilah ad-din (baca: agama Islam). Hal ini menunjukkan bahwa keberagamaan seseorang baru dikatakan benar jika dibangun di atas pondasi Islam dengan segala kriterianya, disemangati oleh iman, segala aktifitas dijalankan atas dasar ihsan, dan orientasi akhir segala aktifitas adalah ukhrawi.
Atas dasar tersebut di atas, maka seseorang yang hanya menganut Islam sebagai agama belumlah cukup tanpa dibarengi dengan iman. Sebaliknya, iman tidaklah berarti apa-apa jika tidak didasari dengan Islam. Selanjutnya, kebermaknaan Islam dan iman akan mencapai kesempurnaan jika dibarengi dengan ihsan, sebab ihsan mengandung konsep keikhlasan tanpa pamrih dalam ibadah.  Keterkaitan antara ketiga konsep di atas (Islam, iman, dan ihsan) dengan hari kiamat karena karena hari kiamat (baca: akhirat) merupakan terminal tujuan dari segala perjalanan manusia tempat menerima ganjaran dari segala aktifitas manusia yang kepastaian kedatangannya menjadi rahasia Allah swt.

2.3. MENELUSURI KONSEP DAN URGENSI ISLAM, IMAN, DAN IHSAN DALAM MEMBENTUK INSAN KAMIL   ( MANUSIA SEMPURNA )

Menurut Ibn Araby, ada dua tingkatan menusia dalam mengimani Tuhan. Pertama, tingkat insan kamil. Mereka mengimani Tuhan dengan cara penyaksian. Artinya, mereka “ menyaksikan” Tuhan; mereka menyembah Tuhan yang disaksikannya. Kedua, manusia beragama pada umumnya. Mereka mengimami Tuhan dengan cara mendefinisikan. Artinya, mereka tidak menyaksikan Tuhan. Tetapi mereka mendefinisikan Tuhan. Mereka mendefinisikan Tuhan berdasarkan sifat – sifat dan nama – nama Tuhan. ( Asma’ul Husna )
            Abdulkarim Al – Jilli membagi insan kamil atas tiga tingkatan.
a)      Tingkat Pemula ( al – bidayah ). Pada tingkat ini insan kamil mulai dapat merealisasikan asma dan sifat – sifat ilahi pada dirinya.
b)      Tingkat menengah ( at – tawasuth ). Pada tingkat ini insan kamil sebagai orbit kehalusan sifat kemanusiaan yang terkait dengan realitas kasih Tuhan ( al – haqaiq ar – ramaniyyah ). Pengetahuan yang dimiliki oleh insan kamil pada tingkat ini telah meningkat dari pengetahuan biasa, karena sebagian dari hal – hal yang gaib telah dibukakan Tuhan kepadanya.
c)      Tingkat terakhir ( al – khitam ). Pada tingkat ini insan kamil telah dapat merealisasikan citra Tuhan secara utuh. Iapun telah dapat mengetahui rincian dari rahasia penciptaan takdir.

2.4 . HAKIKAT IBADAH

Tujuan di ciptakannya manusia di muka bumi ini yaitu untuk beribadah kepada-Nya. Ibadah dalam pengertian yang komprehensif menurut Syaikh Al-Islam Ibnu Taimiyah adalah sebuah nama yang mencakup segala sesuatu yang dicintai dan diridhai oleh Allah SWT berupa perkataan atau perbuatan baik amalan batin ataupun yang zhahir (nyata).
Adapun hakekat ibadah yaitu:
1.  Ibadah adalah tujuan hidup kita.
2.   Hakikat ibadah itu adalah melaksanakan apa yang Allah cintai dan ridhai dengan penuh     ketundukan dan kerendahan diri kepadaNya.
3.  Ibadah akan terwujud dengan cara melaksanakan perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya
4.  Cinta, maksudnya cinta kepadaAllah dan Rasul-Nya yang  mengandung makna mendahulukan kehendak Allah dan Rasul-Nya atas yang lainnya. Adapun tanda-tandanya: mengikuti sunah Rasulullah saw.
5.  Jihad di jalan Allah (berusaha sekuat tenaga untuk meraih segalasesuatu yang dicintai Allah).
6.     Takut,maksudnya tidak merasakan sedikitpun ketakutan kepada segala bentuk dan jenis
 makhluk melebihi ketakutannya kepada Allah SWT.        
Dengan demikian orang yang benar-benar mengerti kehidupan adalah yang mengisi waktunya dengan berbagai macam bentuk ketaatan; baik dengan melaksanakan perintah maupun menjauhi larangan. Sebab dengan cara itulah tujuan hidupnya akan terwujud.



2.5  HIKMAH IBADAH

1.      Tidak SyirikSeorang hamba yang sudah berketetapan hati untuk senantiasa beribadah menyembah kepada Nya, maka ia harus meninggalkan segala bentuk syirik. Ia telah mengetahui segala sifat-sifat yang dimiliki Nya adalah lebih besar dari segala yang ada, sehingga tidak ada wujud lain yang dapat mengungguli-Nya.

2.      Memiliki ketakwaanKetakwaan yang dilandasi cinta timbul karena ibadah yang dilakukan manusia setelah merasakan kemurahan dan keindahan Allah SWT. Setelah manusia melihat kemurahan dan keindahan Nya munculah dorongan untuk beribadah kepada Nya. Sedangkan ketakwaan yang dilandasi rasa takut timbul karena manusia menjalankan ibadah dianggap sebagai suatu kewajiban bukan sebagai kebutuhan. Ketika manusia menjalankan ibadah sebagai suatu kewajiban adakalanya muncul ketidak ikhlasan, terpaksa dan ketakutan akan balasan dari pelanggaran karena tidak menjalankankewajiban.
3.      Terhindar dari kemaksiatan. Ibadah memiliki daya pensucian yang kuat sehingga dapat menjadi tameng dari pengaruh kemaksiatan, tetapi keadaan ini hanya bisa dikuasai jika ibadah yang dilakukan berkualitas. Ibadah ibarat sebuah baju yang harus selalu dipakai dimanapun manusia berada.

4.      Berjiwa sosial, ibadah menjadikan seorang hamba menjadi lebih peka dengan keadaan lingkungan disekitarnya, karena dia mendapat pengalaman langsung dari ibadah yang dikerjakannya. Sebagaimana ketika melakukan ibadah puasa, ia merasakan rasanya lapar yang biasa dirasakan orang-orang yang kekurangan. Sehingga mendorong hamba tersebut lebih memperhatikan orang lain.

5.      Tidak kikirHarta yang dimiliki manusia pada dasarnya bukan miliknya tetapi milik Allah SWT yang seharusnya diperuntukan untuk kemaslahatan umat. Tetapi karena kecintan  manusia yang begita besar terhadap keduniawian menjadikan dia lupa dan kikir akan hartanya. Berbeda dengan hamba yang mencintai Allah SWT, senantiasa dawam menfkahkan hartanya di jalan Allah SWT, ia menyadari bahwa miliknya adalah bukan haknya tetapi ia hanya memanfaatkan untuk keperluanya semata-mata sebagai bekal di akhirat yang diwujudkan dalam bentuk pengorbanan hartauntuk keperluan umat.

2.6  MACAM-MACAM IBADAH

Ditinjau dari jenisnya, ibadah dalam Islam terbagi menjadi dua jenis, dengan bentuk dan sifat yang berbeda antara satu dengan lainnya;

1.      ‘Ibadah Mahdhah, (ibadah Khas) artinya  penghambaan yang murni hanya merupakan hubungan antara hamba dengan Allah secara langsung. ‘Ibadah bentuk ini  memiliki 4 prinsip:

a. Keberadaannya harus berdasarkan adanya dalil perintah, baik dari al-Quran maupun al- Sunnah al-Maqbulah, jadi merupakan otoritas wahyu, tidak boleh ditetapkan oleh akal atau logika keberadaannya.

b. Tata caranya harus berpola kepada contoh Rasul saw. Salah satu tujuan diutus rasul oleh Allah adalah untuk memberi contoh:
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلَّا لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللَّهِ ۚ وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّابًا رَحِيمًا   
Dan Kami tidak mengutus seseorang rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.(QS.An-nisa: 64).
مَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَىٰ رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَىٰ فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ ۚ وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya( QS. Al Hasyr :7).
Shalat dan haji adalah ibadah mahdhah, maka tata caranya, Nabi bersabda: Shalatlah kamu seperti kamu melihat aku shalat. Ambillah dari padaku tata cara haji kamu. Jika melakukan ibadah bentuk ini tanpa dalil perintah atau tidak sesuai dengan praktek Rasul saw., maka dikategorikan “Muhdatsatul umur” perkara meng-ada-ada, yang populer disebut bid’ah.
Sabda Nabi saw.Salah satu penyebab hancurnya agama-agama yang dibawa sebelum Muhammad saw. adalah karena kebanyakan kaumnya menyalahiperintah Rasul-rasul mereka.
c. Bersifat supra rasional (di atas jangkauan akal), artinya ibadah bentuk ini bukan ukuran logika, karena bukan wilayah akal, melainkan wilayah wahyu, akal hanya berfungsi memahami rahasia dibaliknya yang disebut hikmah’. Shalat, adzan, tilawatul Quran, dan ibadah mahdhah lainnya, keabsahannnya bukan ditentukan oleh mengerti atau tidak, melainkan ditentukan apakah sesuai dengan ketentuan atau tidak. Atas dasar ini, maka ditetapkan oleh syarat dan rukun yang ketat.
d. Azasnya “taat”, yang dituntut dalam melaksanakan ibadah ini adalah kepatuhan atau ketaatan. Maka wajib meyakini bahwa apa yang diperintahkan Allah kepadanya, semata-mata untuk kepentingan dan kebahagiaan, bukan untuk Allah, dan salah satu misi utama diutus Rasul adalah untuk dipatuhi:  Jenis ibadah yang termasuk mahdhah, adalah : Wudhu, Tayammum, Mandi hadats, Adzan, Iqamat, Shalat, Membaca al-Quran, I’tikaf, Puasa, Haji dan Umrah,  Mengurus Janazah
2.      Ibadah Ghairu Mahdhah,
(ibadah ‘Am) (tidak murni semata hubungan dengan  Allah)  yaitu ibadah yang di samping sebagai hubungan  hamba dengan Allah juga merupakan hubungan atau interaksi antara hamba dengan makhluk lainnya.  Prinsip-prinsip dalam ibadah ini, ada 4:
a.       Keberadaannya didasarkan atas tidak adanya dalil yang melarang. Selama Allah dan Rasul-Nya tidak melarang maka ibadah bentuk ini boleh diselenggarakan.
b.      Tata laksananya tidak perlu berpola kepada contoh Rasul, karenanya dalam ibadah bentuk umum ini tidak dikenal istilah “bid’ah”          
c.       Bersifat rasional,  ibadah bentuk ini baik-buruknya, atau untung-ruginya, manfaat atau madharatnya, dapat ditentukan oleh akal atau logika.  Sehingga jika menurut logika sehat, buruk, merugikan, dan madharat, maka tidak boleh dilaksanakan.
d. Azasnya “Manfaat”, selama itu bermanfaat, maka selama itu boleh dilakukan.
2.7. SYARAT-SYARAT DITERIMANYA IBADAH
Ibadah adalah perkara taufiqiyyah, yaitu tidak ada suatu ibadah yang disyari’atkan kecuali berdasarkan al-Qur’an dan as Sunnah. Apa yang tidak disyari’atkan berarti bid’ah mardûdah (bid’ah yang ditolak ),hal ini berdasarkan sabda Nabi SAW.
“ Barangsiapa yang beramal tanpa adanya tuntutan dari Kami, maka amalan tersebut tertolak.”
Ibadah-ibadah itu bersangkut penerimaannya kepada dua faktor yang penting, yang menjadi syarat bagi diterimanya. Syarat-syarat diterimanya suatu amal (ibadah) ada dua macam yaitu:
1.  Ikhlas
Katakanlah: “Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama. Dan aku diperintahkan supaya menjadi orang yang pertama-tama berserah diri”. Katakanlah: “Sesungguhnya aku takut akan siksaan hari yang besar jika aku durhaka kepada Tuhanku”. Katakanlah: “Hanya Allah saja yang aku sembah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agamaku”. (QS az-Zumar/39 : 11-14).
2.  Ittiba’ Rasul. Dilakukan secara sah yang sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW.
Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: “Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa”. Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya”. (QS al-Kahfi/18: 110)
Syarat yang pertama merupakan konsekuensi dari syahadat lâ ilâha illallâh, karena ia mengharuskan ikhlas beribadah hanya kepada Allah dan jauh dari syirik kepada-Nya. Sedangkan syarat kedua adalah konsekuensi dari syahadat Muhammad Rasulullah s.a.w., karena ia menuntut wajib-nya taat kepada Rasul, mengikuti syari’atnya dan meninggalkan bid’ah atau ibadah-ibadah yang diada-adakan.