BAB II
PEMBAHASAN
2.1 IMAN, ISLAM, DAN IHSAN DALAM MEMBENTUK INSAN KAMIL
1. Iman
Pengertian dasar dari istilah
“iman” ialah “memberi ketenangan hati; pembenaran hati”. Jadi makna iman
secara umum mengandung pengertian pembenaran hati yang dapat menggerakkan
anggota badan memenuhi segala konsekuensi dari apa yang dibenarkan oleh hati.
Iman
sering juga dikenal dengan istilah aqidah, yang berarti ikatan, yaitu ikatan
hati. Bahwa seseorang yang beriman mengikatkan hati dan perasaannya dengan
sesuatu kepercayaan yang tidak lagi ditukarnya dengan kepercayaan lain. Aqidah
tersebut akan menjadi pegangan dan pedoman hidup, mendarah daging dalam diri
yang tidak dapat dipisahkan lagi dari diri seorang mukmin. Bahkan seorang
mukmin sanggup berkorban segalanya, harta dan bahkan jiwa demi mempertahankan aqidahnya.
Proses Terbentuknya Iman Dan
Upaya Meningkatkannya
Iman
terbentuk dalam diri manusia diawali dari fitrah tauhid(menyembah Allah) yang
Allah tanamkan dalam diri manusia sejak dia masih dalam rahim ibu.
1.
Fitrah Illahi
Hati sangat berperan dalam mewujudkan iman
dalam diri seseorang. Allah sesungguhnya telah memberikan potensi pada sertiap
manusia untuk bertuhan dan mengabdi hanya kepada Allah, yang di sebut fitrah
tauhid. Dijelaskan dalam QS.Al-A’raf:172
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ
بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ
أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ ۖ قَالُوا بَلَىٰ ۛ شَهِدْنَا ۛ أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ
الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَٰذَا غَافِلِين
Dan (ingatlah),
ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan
Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):
"Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau
Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di
hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah
orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)".
2.
Hidayah
Menurut Muhammad abduh, hidayah adalah petunjuk
halus yang membawa atau menyampaikan kepada apa yang dituju atau diingini.
Dijelaskan dalam QS.Al-Qashas:56
إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ
أَحْبَبْتَ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ ۚ وَهُوَ أَعْلَمُ
بِالْمُهْتَدِينَ
Sesungguhnya
kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi
Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih
mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.
3.
Ikhtiar Insani
a.
Penciptaan
Lingkungan Sosial Yang Kondusif
Hal ini menunjukkan bahwa lingkungan, dalam
konteks ini pendidikan, memiliki kekuatan yang luar biasa dalam membentuk
keyakinan dan pandangan hidup seseorang.
b.
Dzikir,Tafakkur, Dan Tadabbur
Dzikir adalah mengingat Allah SWT dan menhyebut
nama-namanya setiap saat dalam segala posisi dan keadaan. Berezikir dapat
dilakukan pula dengan merenung (Tadabbur) dan memikirakan (Tafakkur) ciptaan
Allah,memikirkan proses kejadian alam dan segala peristiwa yang terjadi di
dalamnya.
c.
Ingat Mati
Mati akan dirasakan oleh manusia setelah tiba
saatnya. Saalh satu cara untuk mengingat mati dalah bertakziah kepada orang
yang mati. Cara lain untuk mengingat mati adalah dengan ziarah kubur.
2. Islam
Islam sebagai sebuah nama dari
nama agama tidak diberikan oleh para pemeluknya melainkan kata “Islam” pada
kenyataannya dicantumkan dalam Quran, yaitu:
1. “Wa radhitu lakum
al-Islama dinan” artinya “Dan Allah mengakui bagimu Islam sebagai Agama”.
2. “Inna’ ddina inda
ilahi al Islam” artinya “Sesungguhnya agama disisi Allah adalah Islam”.
3. Ihsan
Ihsan
berasal dari kata حَسُنَ yang artinya adalah berbuat baik, sedangkan bentuk
masdarnya adalah اِحْسَانْ, yang artinya kebaikan. Allah SWT berfirman dalam Al
Qur`an mengenai hal ini.
إِنْ أَحْسَنتُمْ أَحْسَنتُمْ لِأَنفُسِكُمْ ۖ وَإِنْ أَسَأْتُمْ
فَلَهَا ۚ فَإِذَا جَآءَ وَعْدُ ٱلْءَاخِرَةِ لِيَسُۥٓـُٔوا۟ وُجُوهَكُمْ
وَلِيَدْخُلُوا۟ ٱلْمَسْجِدَ كَمَا دَخَلُوهُ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَلِيُتَبِّرُوا۟
مَا عَلَوْا۟ تَتْبِيرً
Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi
dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, maka (kejahatan) itu bagi dirimu
sendiri, dan apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) yang kedua, (Kami
datangkan orang-orang lain) untuk menyuramkan muka-muka kamu dan mereka masuk
ke dalam mesjid, sebagaimana musuh-musuhmu memasukinya pada kali pertama dan
untuk membinasakan sehabis-habisnya apa saja yang mereka kuasa.
(al-Isra’: 7)
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ
اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ ۖ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا ۖ
وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ ۖ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي
الْأَرْضِ ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِي
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan
Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan
bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain)
sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat
kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berbuat kerusakan. (al-Qashash:77)
Ihsan adalah puncak
ibadah dan akhlak yang senantiasa menjadi target seluruh hamba Allah swt.
Sebab, ihsan menjadikan kita sosok yang mendapatkan kemuliaan
dari-Nya. Sebaliknya, seorang hamba yang tidak mampu mencapai target ini akan
kehilangan kesempatan yang sangat mahal untuk menduduki posisi terhormat dimata
Allah swt. Rasulullah saw. pun sangat menaruh perhatian akan hal ini, sehingga
seluruh ajaran-ajarannya mengarah kepada satu hal, yaitu mencapai ibadah yang
sempurna dan akhlak yang mulia.
2.2
HUBUNGAN IMAN, ISLAM DAN
IHSAN
Iman, islam dah ihsan
hubungannya sendiri sangat erat. Sebagaimana dalam hadits nabi SAW yang
diriwayatkan oleh HR muslim. Hadis HR muslim
mengetengahkan 4 (empat) masalah pokok yang saling berkaitan satu sama lain,
yaitu iman, Islam, ihsan, dan hari kiamat. Pernyataan Nabi saw.
di penghujung hadis di atas bahwa “itu adalah Malaikat Jibril datang
mengajarkan agama kepada manusia” mengisyaratkan bahwa keempat masalah yang
disampaikan oleh malaikat Jibril dalam hadis di atas terangkum dalam
istilah ad-din (baca: agama Islam). Hal ini menunjukkan bahwa
keberagamaan seseorang baru dikatakan benar jika dibangun di atas
pondasi Islam dengan segala kriterianya, disemangati
oleh iman, segala aktifitas dijalankan atas
dasar ihsan, dan orientasi akhir segala aktifitas
adalah ukhrawi.
Atas dasar
tersebut di atas, maka seseorang yang hanya menganut Islam sebagai agama
belumlah cukup tanpa dibarengi dengan iman. Sebaliknya, iman tidaklah berarti
apa-apa jika tidak didasari dengan Islam. Selanjutnya, kebermaknaan Islam dan iman akan
mencapai kesempurnaan jika dibarengi dengan ihsan, sebab ihsan mengandung
konsep keikhlasan tanpa pamrih dalam ibadah. Keterkaitan antara ketiga
konsep di atas (Islam, iman, dan ihsan) dengan hari
kiamat karena karena hari kiamat (baca: akhirat) merupakan terminal tujuan dari
segala perjalanan manusia tempat menerima ganjaran dari segala aktifitas
manusia yang kepastaian kedatangannya menjadi rahasia Allah swt.
2.3. MENELUSURI KONSEP DAN URGENSI
ISLAM, IMAN, DAN IHSAN DALAM MEMBENTUK INSAN KAMIL ( MANUSIA
SEMPURNA )
Menurut Ibn Araby, ada dua tingkatan menusia dalam mengimani Tuhan. Pertama, tingkat insan kamil. Mereka mengimani Tuhan dengan cara
penyaksian. Artinya, mereka “ menyaksikan” Tuhan; mereka menyembah Tuhan yang
disaksikannya. Kedua, manusia beragama pada umumnya. Mereka mengimami Tuhan
dengan cara mendefinisikan. Artinya, mereka tidak menyaksikan Tuhan. Tetapi
mereka mendefinisikan Tuhan. Mereka mendefinisikan Tuhan berdasarkan sifat –
sifat dan nama – nama Tuhan. ( Asma’ul Husna )
Abdulkarim
Al – Jilli membagi insan kamil atas tiga tingkatan.
a) Tingkat Pemula ( al – bidayah ). Pada tingkat ini insan kamil mulai dapat
merealisasikan asma dan sifat – sifat ilahi pada dirinya.
b) Tingkat menengah ( at – tawasuth ). Pada tingkat ini insan kamil sebagai
orbit kehalusan sifat kemanusiaan yang terkait dengan realitas kasih Tuhan ( al
– haqaiq ar – ramaniyyah ). Pengetahuan yang dimiliki oleh insan kamil pada
tingkat ini telah meningkat dari pengetahuan biasa, karena sebagian dari hal –
hal yang gaib telah dibukakan Tuhan kepadanya.
c) Tingkat terakhir ( al – khitam ). Pada tingkat ini insan kamil telah dapat
merealisasikan citra Tuhan secara utuh. Iapun telah dapat mengetahui rincian
dari rahasia penciptaan takdir.
2.4 . HAKIKAT
IBADAH
Tujuan di ciptakannya manusia di
muka bumi ini yaitu untuk beribadah kepada-Nya.
Ibadah dalam pengertian yang komprehensif menurut Syaikh Al-Islam Ibnu Taimiyah
adalah sebuah nama yang mencakup segala sesuatu yang dicintai dan diridhai oleh
Allah SWT berupa perkataan atau perbuatan baik amalan batin ataupun yang zhahir
(nyata).
Adapun hakekat ibadah yaitu:
1. Ibadah
adalah tujuan hidup kita.
2. Hakikat
ibadah itu adalah melaksanakan apa yang Allah cintai dan ridhai dengan penuh ketundukan dan kerendahan
diri kepadaNya.
3. Ibadah
akan terwujud dengan cara melaksanakan perintah Allah dan meninggalkan
larangan-Nya
4. Cinta, maksudnya cinta kepadaAllah
dan Rasul-Nya yang mengandung makna mendahulukan kehendak
Allah dan Rasul-Nya atas yang lainnya. Adapun tanda-tandanya: mengikuti sunah Rasulullah
saw.
5. Jihad di jalan Allah
(berusaha sekuat tenaga untuk meraih segalasesuatu
yang dicintai Allah).
6. Takut,maksudnya tidak merasakan sedikitpun ketakutan kepada segala bentuk dan jenis
makhluk melebihi ketakutannya kepada
Allah SWT.
Dengan
demikian orang yang benar-benar mengerti kehidupan adalah yang mengisi waktunya
dengan berbagai macam bentuk ketaatan; baik dengan melaksanakan perintah maupun
menjauhi larangan. Sebab dengan cara itulah tujuan hidupnya akan terwujud.
2.5 HIKMAH IBADAH
1. Tidak Syirik. Seorang
hamba yang sudah berketetapan hati untuk
senantiasa beribadah menyembah kepada Nya, maka ia harus meninggalkan segala
bentuk syirik. Ia telah mengetahui segala sifat-sifat yang dimiliki Nya adalah
lebih besar dari segala yang ada, sehingga tidak ada wujud lain yang dapat
mengungguli-Nya.
2. Memiliki ketakwaan. Ketakwaan
yang dilandasi cinta timbul karena ibadah yang dilakukan manusia setelah
merasakan kemurahan dan keindahan Allah SWT. Setelah manusia melihat kemurahan
dan keindahan Nya munculah dorongan untuk beribadah kepada Nya. Sedangkan
ketakwaan yang dilandasi rasa takut timbul karena manusia menjalankan ibadah
dianggap sebagai suatu kewajiban bukan sebagai kebutuhan. Ketika manusia
menjalankan ibadah sebagai suatu kewajiban adakalanya muncul ketidak ikhlasan,
terpaksa dan ketakutan akan balasan dari pelanggaran karena tidak
menjalankankewajiban.
3.
Terhindar
dari kemaksiatan. Ibadah memiliki
daya pensucian yang kuat sehingga dapat menjadi tameng dari pengaruh kemaksiatan,
tetapi keadaan ini hanya bisa dikuasai jika ibadah yang dilakukan berkualitas.
Ibadah ibarat sebuah baju yang harus selalu dipakai
dimanapun manusia berada.
4.
Berjiwa
sosial, ibadah menjadikan
seorang hamba menjadi lebih peka dengan keadaan lingkungan disekitarnya, karena
dia mendapat pengalaman langsung dari ibadah yang dikerjakannya. Sebagaimana
ketika melakukan ibadah puasa, ia merasakan rasanya lapar yang biasa dirasakan
orang-orang yang kekurangan. Sehingga mendorong hamba tersebut lebih
memperhatikan orang lain.
5. Tidak kikir. Harta yang
dimiliki manusia pada dasarnya bukan miliknya tetapi milik Allah SWT yang
seharusnya diperuntukan untuk kemaslahatan umat. Tetapi karena kecintan manusia yang begita besar terhadap keduniawian
menjadikan dia lupa dan kikir akan hartanya. Berbeda dengan hamba yang
mencintai Allah SWT, senantiasa dawam menfkahkan hartanya di jalan Allah SWT,
ia menyadari bahwa miliknya adalah bukan haknya tetapi ia hanya memanfaatkan
untuk keperluanya semata-mata sebagai bekal di akhirat yang diwujudkan dalam
bentuk pengorbanan hartauntuk keperluan umat.
2.6 MACAM-MACAM IBADAH
Ditinjau dari jenisnya, ibadah dalam Islam terbagi
menjadi dua jenis, dengan bentuk dan sifat yang berbeda antara satu dengan
lainnya;
1. ‘Ibadah
Mahdhah, (ibadah Khas)
artinya penghambaan yang murni hanya merupakan hubungan antara hamba
dengan Allah secara langsung. ‘Ibadah bentuk ini memiliki 4 prinsip:
a. Keberadaannya harus
berdasarkan adanya dalil perintah, baik dari al-Quran maupun al-
Sunnah al-Maqbulah, jadi merupakan otoritas wahyu, tidak boleh ditetapkan oleh
akal atau logika keberadaannya.
b. Tata caranya
harus berpola kepada contoh Rasul saw. Salah satu tujuan diutus
rasul oleh Allah adalah untuk memberi contoh:
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ
إِلَّا لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللَّهِ ۚ وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ
جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا
اللَّهَ تَوَّابًا رَحِيمًا
Dan Kami tidak
mengutus seseorang rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah.
Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu
memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka,
tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.(QS.An-nisa: 64).
مَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَىٰ
رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَىٰ فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَىٰ
وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً
بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ ۚ وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا
نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ
الْعِقَابِ
Apa
saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta
benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk
Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang
dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya
saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa
yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya( QS. Al Hasyr :7).
Shalat dan haji adalah
ibadah mahdhah, maka tata caranya, Nabi bersabda: Shalatlah kamu seperti
kamu melihat aku shalat. Ambillah dari padaku tata cara haji kamu. Jika melakukan ibadah bentuk ini tanpa dalil perintah atau tidak
sesuai dengan praktek Rasul saw., maka dikategorikan “Muhdatsatul umur” perkara
meng-ada-ada, yang populer disebut bid’ah.
Sabda Nabi
saw.Salah satu penyebab hancurnya agama-agama yang dibawa sebelum Muhammad saw.
adalah karena kebanyakan kaumnya menyalahiperintah Rasul-rasul mereka.
c.
Bersifat supra rasional (di atas jangkauan akal), artinya ibadah bentuk ini
bukan ukuran logika, karena bukan wilayah akal, melainkan wilayah wahyu, akal
hanya berfungsi memahami rahasia dibaliknya yang disebut hikmah’. Shalat,
adzan, tilawatul Quran, dan ibadah mahdhah lainnya, keabsahannnya bukan
ditentukan oleh mengerti atau tidak, melainkan ditentukan apakah sesuai dengan
ketentuan atau tidak. Atas dasar ini, maka ditetapkan oleh syarat dan rukun
yang ketat.
d. Azasnya “taat”, yang
dituntut dalam melaksanakan ibadah ini adalah kepatuhan atau ketaatan. Maka
wajib meyakini bahwa apa yang diperintahkan Allah kepadanya, semata-mata untuk
kepentingan dan kebahagiaan, bukan untuk Allah, dan salah satu misi utama
diutus Rasul adalah untuk dipatuhi: Jenis ibadah yang termasuk mahdhah,
adalah : Wudhu, Tayammum, Mandi hadats, Adzan, Iqamat, Shalat, Membaca
al-Quran, I’tikaf, Puasa, Haji dan Umrah, Mengurus Janazah
2. Ibadah
Ghairu Mahdhah,
(ibadah ‘Am) (tidak murni
semata hubungan dengan Allah)
yaitu ibadah yang di samping sebagai hubungan hamba dengan Allah juga
merupakan hubungan atau interaksi antara hamba dengan makhluk lainnya. Prinsip-prinsip
dalam ibadah ini, ada 4:
a.
Keberadaannya didasarkan
atas tidak adanya dalil yang melarang. Selama Allah dan Rasul-Nya
tidak melarang maka ibadah bentuk ini boleh diselenggarakan.
b.
Tata laksananya tidak perlu berpola kepada
contoh Rasul, karenanya dalam ibadah bentuk umum ini tidak dikenal istilah
“bid’ah”
c.
Bersifat rasional,
ibadah bentuk ini baik-buruknya, atau untung-ruginya, manfaat atau madharatnya,
dapat ditentukan oleh akal atau logika. Sehingga jika menurut logika
sehat, buruk, merugikan, dan madharat, maka tidak boleh dilaksanakan.
d. Azasnya “Manfaat”, selama itu bermanfaat, maka selama
itu boleh dilakukan.
2.7. SYARAT-SYARAT
DITERIMANYA IBADAH
Ibadah adalah
perkara taufiqiyyah, yaitu tidak ada suatu ibadah yang disyari’atkan kecuali berdasarkan al-Qur’an
dan as Sunnah. Apa yang tidak disyari’atkan berarti bid’ah
mardûdah (bid’ah yang ditolak ),hal ini
berdasarkan sabda Nabi SAW.
“ Barangsiapa yang
beramal tanpa adanya tuntutan dari Kami, maka amalan tersebut tertolak.”
Ibadah-ibadah itu
bersangkut penerimaannya kepada dua faktor yang penting, yang menjadi syarat
bagi diterimanya. Syarat-syarat diterimanya suatu amal (ibadah) ada dua macam
yaitu:
1. Ikhlas
“Katakanlah:
“Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan memurnikan
ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama. Dan aku diperintahkan supaya
menjadi orang yang pertama-tama berserah diri”. Katakanlah: “Sesungguhnya aku
takut akan siksaan hari yang besar jika aku durhaka kepada Tuhanku”. Katakanlah:
“Hanya Allah saja yang aku sembah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam
(menjalankan) agamaku”. (QS az-Zumar/39 : 11-14).
2. Ittiba’
Rasul. Dilakukan secara sah yang sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW.
“Katakanlah:
Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku:
“Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa”. Barangsiapa
mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang
saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada
Tuhannya”. (QS al-Kahfi/18: 110)
Syarat
yang pertama merupakan konsekuensi dari syahadat lâ ilâha illallâh, karena ia
mengharuskan ikhlas beribadah hanya kepada Allah dan jauh dari syirik
kepada-Nya. Sedangkan syarat kedua adalah konsekuensi dari syahadat Muhammad
Rasulullah s.a.w., karena ia menuntut wajib-nya taat kepada Rasul, mengikuti
syari’atnya dan meninggalkan bid’ah atau ibadah-ibadah yang diada-adakan.